Perlawanan adalah satu-satunya cara melawan agenda imperialisme Amerika Serikat dan Israel, bukan perudingan

Hidayatullah.com--Selasa 14/12/2010 Hamas merayakan hari jadinya. Sudah 23 tahun sejak didirikan pada 1987, organisasi itu memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel.

Dalam pidato milad, dihadapan puluhan ribu rakyat Palestina yang berkumpul di Jalur Gaza, pemimpin Hamas yang juga perdana menteri pemerintah Palestina di Gaza, Ismail Haniyah, mengatakan bahwa Hamas tidak akan pernah mengakui Israel.

PressTV hari Rabu (15/12) menayangkan wawancara dengan Norman Finkelstein, seorang penulis dan ilmuwan politik yang berada di New York, serta pakar masalah Timur Tengah Saeb Shaath di Belfast, tentang peran Hamas pada masa sekarang ini. Berikut petikannya, dengan sedikit suntingan oleh hidayatullah.com.

PressTV: Sepertinya Hamas menikmati popularitas yang besar sekarang ini, setelah perang 33 hari (dengan) Israel dan sementara Jalur Gaza dikepung Israel hampir 4 tahun. Mengapa?

Finkelstein: Saya tidak yakin adalah akurat mengatakan Hamas menikmati dukungan besar. Sepemahaman saya--menilai dari jajak pendapat--jika pemilu dilakukan sekarang, Hamas mungkin akan kalah di Gaza dan mungkin menang di Tepi Barat.

Tidak mengejutkan dukungan (pada) Hamas akan lenyap. Itulah tujuan dari sanksi yang diberlakukan oleh AS dan Israel, setelah Hamas menang pemilu 2006.

Ketika pemilu usai, mantan Presiden AS Jimmy Carter mengatakan, mereka (Hamas, ed) benar-benar jujur dan adil. Sehingga AS dan Israel memberlakukan sanksi ekonomi brutal ini atas penduduk Gaza untuk menghalangi mereka mendukung kepemimpinannya (Hamas, ed). Dan hal itu tidak mengejutkan, karena hal itu (juga) terjadi di tempat lain di dunia ini.

Namun demikian dalam satu hal, rakyat mulai meragukan kebijaksanaan memilih pemerintahan yang (dianggap) membahayakan AS dan Israel, karena hukuman dan sanksi yang akan mereka (AS dan Israel, ed) timpakan.

Faktanya dalam masalah ini adalah Hamas tidak pernah diberi kesempatan untuk memerintah di wilayah Palestina yang diduduki. Jadi, mustahil untuk mengatakan seberapa sukses atau gagal pemerintahan mereka. Pada saat mereka dipilih untuk berkuasa, AS dan Israel berketetapan bahwa penduduk Palestina akan dihukum karena memilih pemerintahannya (Hamas, ed). Dan itu cukup memberikan tekanan pada penduduk, sehingga mereka akan menolak pemerintahan yang mereka pilih.

PressTV: Saeb Shaath, apakah Anda setuju dengan pernyataan yang barusan dikatakan Norman Finkelstein?

Saeb Shaath: Saya ingin mengatakan bahwa orang Palestina biasanya memilih pembela mereka sendiri. Hamas menunjukkan dirinya sendiri sebagai perlawanan bagi orang-orang Palestina dan memerangi penjajahan Israel, dan itulah kuncinya.

Sepanjang Hamas melawan penjajahan dan proyek imperialistik Amerika di wilayah tersebut dan kukuh melawan Israel dan proyek Zionis di Timur Tengah, Hamas akan tetap mendapat dukungan.

Tentu saja, Hamas kehilangan sebagian dukungan di Gaza, karena tidak berpengalaman dalam mengatur dan menangani urusan kenegaraan. Saya setuju dengan pandangan tersebut.

Tapi mereka tidak kehilangan dukungan sebanyak itu, karena program politik mereka masih terkait dengan perlawanan dan memerangi Zionis.

Saya berada di Gaza beberapa pekan lalu dan berpidato di samping [Perdana Menteri Ismail] Haniyah. Saya katakan kepada Perdana Menteri dihadapan semua orang, "Kami akan mendukung rekonsiliasi Palestina apapun, dengan satu syarat. Yaitu jika tetap mendukung agenda perlawanan."

Itulah kuncinya; perlawanan melindungi rakyat. Perlawanan menghentikan Israel dan proyek imperialis Amerika dan membuat mereka menanggung akibat lebih banyak lagi.

Tentu Gaza berada di bawah pengepungan dan sanksi besar. Ada banyak penyebabnya, karena mereka (AS dan Israel, ed) takut model yang Hamas tunjukan di Gaza akan diekspor dan diterapkan di tempat lain di Timur Tengah. Itu adalah dimensi lain, yang tentu saja akan membahayakan desain imperialisme di Timur Tengah.

PressTV: Norman Finkelstein, bagaimana kita beralih dari perbatasan tahun 1948 ke penghentian (pembangunan) pemukiman untuk perdamaian?

Finkelstein: Kita harus jelas tentang pilihan-pilihan yang ada dalam agenda internasional. Sekarang ada konsensus dalam masyarakat internasional untuk mendukung pendirian dua negara dengan perbatasan Juni 1967.

Jika Anda lihat, sebagai contoh, resolusi yang baru saja dikeluarkan Majelis Umum PBB pekan lalu adalah sebuah resolusi tahunan. Yang disebut penyelesaian damai masalah Palestina. Itu muncul setiap tahun selama sekitar 15 tahun terakhir. Dan istilah penyelesaian konflik dituangkan secara jelas dalam resolusi, yaitu pembentukan dua negara berdasarkan perbatasan Juni 67 dan sebuah resolusi adil atas masalah pengungsi.

Dalam pemungutan suara di Majelis Umum sekitar dua pekan lalu, hasilnya 165 lawan 7. Di satu sisi negara seluruh dunia dan di sisi lain ada Australia, AS, Israel ... Micronesia dan Kepulauan Marshal ... Dan itu begitu terus selama, seperti saya katakan, 15 tahun terakhir.

Iran, contohnya, memilih pembentukan dua negara, bersama mayoritas negara lain. Jika Anda melihat Inisiatif Perdamaian Arab 2002, sekali lagi itu menyeru pada pembentukan dua negara dengan perbatasan Juni 67. Itu didukung oleh seluruh 22 negara Arab. Inisiatif itu diulangi setiap tahun, yang paling terbaru seingat saya pada 2009 di Doha. Kemudian ada organisasi konferensi Islam yang terdiri dari 57 negara Muslim, termasuk Iran, yang mendukung Inisiatif Perdamaian Arab.

Jadi... ada konsensus yang mencakup seluruh bangsa, kecuali Amerika Serikat dan Israel. Dan itu menyerukan penyelesaian dua negara. Bagaimana mengimplementasikannya, saya kira tidak ada kesulitan besar.

Tantangannya sekarang adalah menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada pihak yang sering melawan. Dan pihak yang melawan, yang menolak untuk menyetujui konsensus internasional adalah Israel.

Hamas, misalnya, telah berulang kali membuat pernyataan--termasuk salah satunya sekitar satu pekan lalu--tentang persetujuannya atas perbatasan Juni 67 dan sebuah resolusi yang adil dalam masalah pengungsi.

Jadi, satu-satunya rintangan nyata dalam penyelesaian konflik adalah Israel, yang didukung oleh Amerika Serikat.

PressTV:
Shaath, Saya ingin mengutip sebuah informasi berikut: 43 orang Palestina dibunuh, 18 anak Gaza diculik dan 298 bangunan dan rumah milik 710 keluarga dihancurkan. Mungkin Anda mengira ini terjadi bulan lalu atau tahun lalu, tapi ini (sesungguhnya) terjadi pada bulan Mei 2004. Jadi apa yang berubah? Mengapa tidak ada peningkatan sama sekali pada saat kita membicarakannya dulu hingga masa sekarang ini?

Shaath:
Jika kita melihat gambarannya, sebagaimana yang kita katakan seluruh bangsa mendukungnya, kita bicara tentang Resolusi 181--dasar dari solusi dua negara--dan Resolusi 194--yang memberikan hak pengungsi Palestina untuk kembali. PLO mengadopsi solusi dua negara itu, dan menempatkannya jadi solusi satu negara demokrasi sekuler.

Kita kemudian beralih ke perjanjian Arab-Mesir, Camp David, Yordania, dan Perjanjian Oslo. Pembangunan pemukiman (Yahudi) di Tepi Barat terus menggila dibawah Perjanjian Oslo. Mereka (Israel, ed) merampas hampir seluruh tanah.

Sekarang kita lihat insentif yang ditawarkan kepada Israel (dari AS, ed) untuk menghentikan pemukiman, dan mereka menolaknya. Anda mungkin heran mengapa mereka menolak satu skuadron F-45, uang dalam jumlah besar dan berbagai insentif.

Alasannya ada dua. Pertama, mereka melihat dukungan AS kepada mereka adalah tanpa syarat. Mereka adalah rekanan dalam kejahatan. Israel yang melaksanakan semua rencana dan tujuan proyek penjajahan di Timur Tengah, jadi tidak ada pilihan (bagi AS) kecuali mendukung Israel. Itu ada sejak keberadaan Israel.

Alasan lainnya adalah mereka tidak ingin menghentikan pembangunan pemukiman, yang bisa menyebabkan masalah perbatasan dibicarakan. Mereka ingin seluruh Yerusalem menjadi milik Yahudi. Mereka ingin merampas tanah sebanyak-banyaknya yang mereka bisa. Oleh karena itu, mereka mengabaikan kesempatan mewujudkan solusi dua negara.

Sekarang kita berada persis di momen di mana tidak ada harapan dan kesempatan untuk mewujudkan solusi dua negara. Yang tersisanya hanyalah hak warga Palestina untuk kembali. Inilah ganjalan masalahnya.

Ganjalan masalahnya bukan perbatasan atau tanah atau kota. Delapan juta pengungsi Palestina berhak kembali ke tanah air. Mereka dijamin haknya oleh kemanusiaan dan hak universal, oleh PBB, oleh nilai-nilai agama dan filosofi apapun.

Inilah masalahnya, dari sini kita bisa mulai bicara. Ini situasi yang dihadapi orang Palestina.

Pemerintah Obama bahkan tidak bisa menghentikan kegiatan pembangunan pemukiman Israel, maka bagaimana mungkin mereka akan mewujudkan solusi dua negara yang adil? Ini lelucon ... mereka mempermainkan rakyat Palestina.

Kita tahu itu, bahwa satu-satunya solusi untuk masalah ini adalah perlawanan, untuk membuat mereka membayar harga penjajahan (yang dlakukannya). Itu bukan negosiasi untuk kepentingan negosiasi, sebagaimana yang dikatakan pemimpin Otorita Palestina di Ramallah. Mereka sebenarnya melayani sebuah agenda Zionis dan bukannya melayani kepentingan Gaza dan Ramallah.

Satu-satunya jalan adalah melakukan perlawanan, agar Israel dan program penjajahan di Timur Tengah menanggung akibatnya, membuat penjajah menanggung akibat yang sedemikian besar hingga mereka tidak sanggup memikulnya lagi.

PressTV:
Finkelstein, saya ingin lebih menekankan pada hak untuk kembali. Saya ingin dengar tanggapan Anda?

Finkelstein:
Ada dua masalah terkait hak untuk kembali. Ada masalah hukum dan masalah organisasi HAM besar. Misalnya Amnesty International dan Human Rights Watch yang pada tahun 2000 dan 2001--saat pembicaraan Camp David, "Parameter" Clinton dan kemudian perundingan Taba. AI dan HRW keduanya mengeluarkan pendapat dan pernyataan tentang hak untuk kembali. Keduanya menyatakan bahwa pengungsi Palestina dan generasi penerusnya--yang tetap memelihara keterkaitan dengan tanah air mereka--memiliki hak untuk kembali dan mendapatkan kompensasi. Sehingga menurut saya tidak ada ambiguitas masalah hukum--setidaknya di kalangan organisasi HAM besar dan terkemuka-- mengenai hak rakyak Palestina untuk kembali dan mendapatkan kompensasi.

Kemudian ada masalah dalam praktek implementasi hak ini. Di mana saya melihat perlu ada negosiasi, dengan hambatan berada di sisi Israel. Israel mengatakan tidak bisa mengakomodasi hak untuk kembali, dan mengajukan sebuah pemukiman bagi warga Palestina sebagai gantinya. Itu adalah hak Palestina untuk mau melakukannya atau tidak. Di bawah hukum internasional, tidak ada seorang pun yang berhak menolak mengakui hak rakyat Palestina untuk kembali.

Tapi sebagaimana saya katakan, hal itu tidak menutup kemungkinan Israel menawarkan pemukiman kepada rakyat Palestina sebagai ganti pengakuan atas hak kembali, sehingga sebagian warga bisa kembali dan sebagian lain tidak.

Saya tidak tahu, saya tidak ingin mengira-ngira. Namun yang perlu ditegaskan adalah rakyat Palestina benar memiliki hak untuk kembali, dan tidak ada seorang pun yang berhak mengingkarinya.

PressTV:
Mana yang harus ditangani lebih dulu? Palestina ingin memfokuskan pada masalah perbatasan dan Yerusalem, al-Quds. Tapi Israel ingin memfokuskan pada masalah pengungsi, keamanan dan pengakuan.

Shaath:
Ini--seluruh negosiasi--yang dinamakan permainan saling menyalahkan.

Sayap kanan pemerintah Israel menyalahkan taktik penundaan mereka. Sementara pemerintah Obama mengaku mendapat tekanan politik dan koalisi yang kuat. Mereka mengaku tidak mungkin melaksanakannya. Jika tidak (jika tetap melaksanakan, ed), pemerintahan mereka akan tumbang.

Pemerintah Obama pura-pura memahami apa yang terjadi, padahal sesungguhnya mereka adalah bagian dari apa yang sedang terjadi.

Apa yang ingin dilakukan Israel adalah melompati masalah perbatasan. Negara ini tidak memiliki konstitusi, negara ini tidak memiliki batas wilayah yang jelas dan mereka ingin menetapkan batas itu. Mereka ingin memojokkan Palestina, agar membuatkan mereka empat perbatasan, yaitu satu di utara Palestina--dimana orang-orang Arab hidup di bawah kendali Israel--dan tiga lagi di Tepi Barat, yaitu satu dekat Jenin, satu di tengah-tengah (Tepi Barat) dan satu dekat Hebron... Itulah solusi satu negara, sebagaimana yang diincar Partai Likud.

Mereka berupaya mewujudkan solusi satu negara setelah menyingkirkan Gaza. Dan mereka ingin mendorong Gaza ke Mesir. Itu mengapa Mesir merasa berada dalam posisi yang kurang enak untuk menerapkan sanksi atas Gaza, karena mereka tidak ingin Gaza didorong ke arah mereka. Sebab mereka akan disalahkan terkait hak Palestina untuk mendirikan sebuah negara.

Pemerintahan Obama sangat paham apa yang sedang mereka lakukan sekarang ini. George Mitchell [utusan khusus AS untuk Timur Tengah] mengatakan di Palestina bahwa kami (AS) tidak akan bicara masalah negosiasi. Mitchell sedang mempersiapkan panggung untuk pemerintahan selanjutnya, karena mereka tidak lagi bisa berunding dengan pemerintahan ultra sayap kanan ini. Dan sangat menarik untuk menyaksikan pertemuannya dengan menteri-menteri negara Arab, untuk mengetahui apa yang akan dihasilkan.

Mereka akan kembali ke ide yang sama seperti dalam Konferensi Madrid. Mereka ingin agar seluruh Arab mengakui Israel dan menghilangkan tekanan atas negara Arab. Arab terhibur dengan ide Tzipi Livni dan juga Amerika. Karena mereka menginginkan semacam solusi untuk membebaskan tanah mereka dan membangun perlawanan atas Irak sekarang ...

PressTV:
Saya beralih ke Norman Finkelstein. Silahkan Anda tanggapi.

Finkelstein:
Menurut saya, perlu untuk diingat bahwa tidak ada yang namanya proses perdamaian. Tidak pernah ada proses perdamaian (di masa lampau, ed). Demikian pula di masa datang.

Itu bukan hanya retorika. Itulah yang terekam dalam dokumentasi dan yang terekam dalam kenyataan. Seseorang yang rasional, seorang yang waras, dinilai berdasarkan hasil yang telah dicapainya. Dia dinilai berdasarkan hasil akhir. Oleh karena itu, mari sekarang kita lihat hasil akhirnya.

Tahap sekarang, yang dinamakan proses perdamaian, disebut-sebut sesuai dengan Kesepakatan Oslo pada September 1993, saat di mana terjadi peristiwa jabat tangan yang tersohor antara Arafat dan Rabeen dengan dipimpin Clinton. Pada saat itu September 1993, ada 250.000 pemukim ilegal Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki. Tujuh belas tahun kemudian di tahun 2010, jumlahnya menjadi 500.000. Jadi jumlahnya bertambah dua kali lipat, sebagaimana dilaporkan pusat informasi HAM Israel di wilayah pendudukan. Israel telah menganeksasi 42 persen wilayah Tepi Barat untuk pemukiman (Yahudi).

Jadi jika Anda melihat keluarannya, lihatlah hasilnya. Tidak pernah ada proses perdamaian, yang ada proses aneksasi. Dan kenyataannya, proses aneksasi memerlukan proses perdamaian.[di/ptv/hidayatullah.com]


You can leave a response, or trackback from your own site.

Dokumentasi Ghurabba